CINTA DUNIA
Imam Al-Ghazali 
Cinta dunia adalah pangkal dari  segala dosa. Dunia tidaklah sama dengan harta dan tahta saja. Harta dan  tahta hanyalah bagian terkecil dari kehidupan dunia yang amat luas itu.  Kehidupan dunia adalah kondisi obyektif Anda sebelum meninggalkan dunia.  Sedangkan akhirat adalah kondisi obyektif
Anda setelah  meninggal. Apa pun isi kehidupan yang Anda hadapi sebelum meninggal,  maka itu adalah kehidupan dunia, kecuali ilmu pengetahuan, ma’rifat dan  kebebasan. Kehidupan duniawi itu amat variatif.
Apa yang ada  setelah kematian, juga merupakan wahana kenikmatan, bagi yang memiliki  matahati. Tetapi wahana setelah meninggal itu bukanlah dunia, walaupun  muncul di dunia.
Bagian-bagian duniawi tersebut saling terkait satu  sama lain, berkaitan pula dengan upaya perbaikan kerja Anda, yang  kembali pada harta-benda yang ada dan bagian Anda di dalamnya, serta  kesibukan Anda untuk memperbaikinya.
Yang berupa harta-benda (materi) adalah bumi beserta isinya. 
Allah swt. berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya...” (Q.s. Al-Kahfi: 7).
Kepentingan  manusia terhadap bumi itu pun bervariasi, bergantung pada sisi bumi itu  sendiri. Tanahnya secara umum dimanfaatkan oleh manusia sebagai tempat  tinggal dan kebun. Tetumbuhannya sebagai obat dan makanan. Barang  tambangnya sebagai sumber devisa, bahan-bahan produksi dan berbagai  peralatan. Sedangkan binatang-binatang difungsikan sebagai alat  kendaraan dan bahan makanan. Adapun manusia itu sendiri berperan sebagai  khalifah Allah yang bertugas memakmurkan bumi dengan melakukan berbagai  kebajikan dan mengembangkan keturunan. Semua itu telah terhimpun dalam  firman Allah swt.:
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia  kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,  anak-anak...” (Q.s. Ali Imran: 14).
Sedangkan bagian duniawi Anda di muka bumi, telah diungkapkan Al-Qur’an melalui kata “hawa nafsu”.
Allah swt. berfirman: “... dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya ...” (Q.s. An-Nazi’at: 40).
Kemudian sebagai rincian terhadap ayat tersebut, Allah swt. berfirman pula:
“...  Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permaianan dan suatu yang  melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta  berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak...” (Q.s. Al.-Hadid:  20).
Di balik semua itu berbagai ancaman terselubung terhadap  batin, berupa kedengkian, kesombongan, riya’, hipokrit, berfoya-foya,  cinta dunia dan gila sanjungan. Semua itu adalah dunia batin. Sementara  kekayaan fisik adalah dunia lahiriah. Kesibukan Anda untuk memakmurkan  dan mengolah dunia melalui industri dan profesi, yang membuat manusia  sibuk sehingga lupa diri, lupa prinsip dan kehilangan makna hidup,  semata karena kelelapan mereka terhadap kesibukan duniawi itu.
Kesibukan  itu muncul akibat dua kaitan: ketergantungan hati karena cinta  dunianya, dan ketergantungan fisik dengan sibuk mengolahnya.
Itulah  hakikat dunia, yang -apabila -mencintainya merupakan pangkal dari segala  dosa. Padahal dunia diciptakan semata sebagai bekal menuju akhirat.  Hanya saja gemerlap dunia itu seringkali membuat orang tersesat sehingga  lupa pada tujuan hidupnya sebagai musafir menuju alam akhir. Ibarat  pemula yang menunaikan ibadat haji, dia pasti disibukkan dengan segala  persiapan dan perbekalan maupun perlengkapan kendaraannya, sehingga  akhirnya dia pun tertinggal oleh rombongannya dan gagal menunaikan  ibadat haji, malah dimangsa oleh binatang buas di padang pasir.
Itulah  dunia yang tercela dan yang menghancurkan. Padahal substansinya adalah  ladang akhirat. Kehidupan dunia merupakan salah satu fase perjalanan  menuju Allah swt. Ia ibarat perumahan yang dibangun di tengah jalan. Di  situ segala bekal perjalanan dipersiapkan dan disimpan. Siapa pun yang  mempersiapkan dan mengambil bekal perjalanannya di situ sekadar  kebutuhan, seperti bekal makanan, pakaian, menikah dan kebutuhan lain,  maka la benar-benar menanam tanaman dan akan dipetiknya kelak di  akhirat. Tetapi, barangsiapa melebihi batas dalam mengambil bekal dan  terlena olehnya, maka dia bakal binasa.
Hidup di dunia, ibarat  suatu kaum yang mengendarai sebuah kapal. Di suatu pulau, kapal itu  berlabuh. Para awak kapal menyuruh penumpang turun untuk melihat-lihat  kondisi alam di pulau tersebut dan sekaligus memenuhi hajat yang  diperlukan. Akan tetapi, mereka diliputi kekhawatiran tertinggal oleh  kapal dan tempatnya diambil alih orang lain. Maka, reaksi mereka pun  berbeda-beda satu sama lain. Ada yang segera turun dan memenuhi hajat  kebutuhannya, lalu segera kembali ke kapal sehingga mendapatkan tempat  yang luas dan masih kosong. Ada yang terlena menyaksikan panorama pulau  itu, sehingga terlambat naik ke kapal dan akibatnya dia pun tidak  mendapatkan tempat yang cukup luas untuk dirinya berikut buah tangan  yang dibawanya. Karenanya, buah tangannya itu terpaksa dipikul di atas  bahunya hingga ke tempat tujuan.
Dan bahkan ada yang amat terlena  hingga masuk ke dalam belantara yang berpanorama sangat indah,  terpesona oleh keindahan bunga-bunga, tidak ingat ancaman binatang buas,  keganasan alam, dan sebagainya. Ketika tiba di pantai, dia mendapatkan  bahwa dirinya ternyata tertinggal seorang diri di tepi pantai. Selang  beberapa saat kemudian datanglah binatang buas dan binatang berbisa yang  siap memangsanya.
Demikianlah ilustrasi kehidupan di alam dunia bila dikaitkan dengan kehidupan akhirat. Cobalah kita renungkan!
Orang  yang mengenal dirinya sendiri, akan mengenal Tuhannya. Siapa yang  mengenal perhiasan dunia dan mengenal akhirat, maka la akan menyaksikan  dengan cahaya jiwa, betapa kehidupan dunia itu bertentangan dengan  kehidupan akhirat. Salah satunya adalah, bahwa seseorang tidak akan  mencapai kebahagiaan di akhirat, kecuali jika menghadap Allah swt.  dengan ma’rifat dan mahabbah kepada-Nya. Dan mahabbah tidak akan bisa  dicapai, kecuali dengan melanggengkan dzikir.
Demikian pula  ma’rifat kepada-Nya tidak akan teraih, kecuali dengan terus “mencari”  dan “berpikir”. Dan keduanya tidak dapat dilakukan, kecuali  menghindarkan diri dari kesibukan duniawi. Sebab, cinta dan ma’rifat  kepada Allah tidak akan pernah bersandar di hati, kecuali bila hati itu  sendiri terlepas dari rasa cinta kepada selain Allah swt. Dan teosofi  seperti ini hanya dapat dihampiri oleh orang-orang yang tergolong ahli  bashirah. Jika Anda memiliki matahati (bashirah), Anda adalah ahli rasa  (dzauq) dan musyahadah. Bila Anda tidak mungkin seperti mereka, cukuplah  Anda menjadi kelompok taqlid dan ahli iman saja. Namun perhatikan  peringatan Allah dalam Al-Qur’an dan AsSunnah.
Allah swt. berfirman:
“Barangsiapa  yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan  kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna...”  (Q.s. Hud:15).
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat...” (Q.s. An-Nahl: 107).
“Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia...” (Q.s. An-Nazi’at: 37-8).
Sepertiga dari Al-Qur’an, ayat-ayatnya mengecam dunia dan para pengabdi dunia.
Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya  dunia itu dilaknat, berikut segenap isinya juga dilaknat, kecuali jika  disertai untuk tujuan kepada Allah swt.” (Al-Hadits).
“Dunia  adalah manisan hijau. Dan Allah mengangkat kamu sebagai khalifah di  atasnya, dan Dia menyaksikan bagaimana cara kamu bekerja.” (Al-Hadits).
“Sesungguhnya  Allah tidak menciptakan suatu makhluk yang paling dibenci-Nya, melebihi  dunia. Semenjak diciptakan, Dia tidak pernah memandangnya.”  (Al-Hadits).
Sabdanya pula, “Barangsiapa di waktu paginya  menjadikan dunia sebagai cita-cita utama, dia tidak akan mendapatkan apa  pun dari Allah swt. Justru Dia akan senantiasa menyiksa hatinya dengan  empat perkara: Kesusahan yang tidak ada putus-putusnya, kesibukan yang  tiada akhirnya, kemiskinan yang tiada mencapai kekayaannya, dan  angan-angan yang tidak akan pernah sampai tujuannya selama-lamanya. “
Diriwayatkan  dari Abu Hurairah r.a, dia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Hai Abu  Hurairah, maukah kamu bila kuperlihatkan dunia secara keseluruhan?’Aku  menjawab, `Ya.’
Lalu beliau memegang tanganku dan menjulurkannya  ke tempat sampah yang di dalamnya terdapat tengkorak kepala manusia,  kotoran, kain lusuh dan tulang-belulang. Kemudian beliau bersabda, ‘Hai  Abu Hurairah, kepala-kepala (tengkorak) ini adalah ketamakan dan  angan-angan manusia, kini ia telah menjadi tulang tanpa kulit dan akan  menjadi debu. Sedangkan kotoran ini adalah aneka makanan yang dimakan  dan hasil usaha manusia, yang kemudian mereka buang dari perutnya,  sehingga mereka saling menjaganya. Dan kain lusuh ini adalah pakaian  mereka yang dicerai-beraikan oleh hembusan angin. Sedang tulang-belulang  ini adalah tulang-belulang binatang yang mereka cari dan pelihara  sampai ke berbagai penjuru. Barangsiapa menangisi dunia, maka  menangislah!”
Dalam hadits lain beliau bersabda, “Kelak pada hari  Kiamat akan datang suatu kaum yang amal perbuatan mereka seperti Gunung  Tihamah; tetapi mereka digiring ke neraka.”Para sahabat berkata,  “Termasuk orang yang mengerjakan salat wahai Rasulullah?” Nabi saw.  menjawab, “Ya, mereka salat, puasa dan bangun di sebagian tengah malam.  Dan bila ditawarkan nilai dunia, maka mereka sama-sama bergegas  merebutnya.”
Nabi Isa as. menegaskan, “Cinta pada dunia dan juga  pada akhirat tidak bisa menempati hati seorang Mukmin, seperti air dan  api tidak bisa berada pada satu tempat.”
Rasulullah saw bersabda, “Waspadalah terhadap dunia, karena lebih dini daripada Malaikat Harut dan Marut.”
Nabi  Isa as. bersabda, “Wahai Hawariyun, relakanlah dirimu mendekati dunia  disertai keselamatan agama, sebagaimana penghuni dunia rela mendekati  agama disertai keselamatan dunia.”
Diriwayatkan, bahwa Isa as.  diperlihatkan substansi dunia dengan gambaran wanita tua yang buruk  rupa, walaupun diberi perhiasan macam-macam. Isa as. berkata, “Berapa  kali engkau menikah?”Wanita tua itu menjawab, `Aku tidak bisa menghitung  suami-suamiku.” Isa as. bertanya lag’, “Mereka menceraikan kamu atau  kamu ditinggal mati mereka?” Wanita itu berkata, “Kubunuh semuanya.” Isa  as. berkata, “Sungguh mengejutkan sekali, suami-suamimu yang terakhir,  mengapa mereka tidak mengambil pelajaran pada suami-suami terdahulu?”
Perlu  Anda ketahui, orang yang menyangka bahwa memakai pakaian dunia pada  badannya, sementara hatinya tetap sunyi dari dunia, berarti orang  tersebut tertipu. Sebab Rasulullah saw bersabda, “Perumpamaan orang yang  cinta pada dunia ibarat orang yang berjalan di atas air. Dapatkah orang  berjalan di atas air, kakinya tidak basah?” (Al-Hadits).
Suatu  ketika Ali bin Abi Thalib r.a. berkirim surat kepada Salman Al-Farisi  r.a, “Dunia itu laksana ular, halus disentuh, tetapi bisanya  membahayakan. Berpalinglah dari dunia yang mengagumkan diri Anda, karena  Anda bersahabat sedikit dengannya; letakkan segala kegelisahan dunia,  karena Anda yakin akan berpisah dengannya; jadilah diri Anda sebagai  orang yang senang dengan apa adanya, karena lebih waspada dari  bahayanya; sebab, pemilik dunia ketika merasa tentram la akan dikejutkan  oleh sesuatu yang dibencinya.”
Nabi Isa as. berkata, “Dunia ibarat  orang yang minum air laut, semakin banyak semakin terasa haus, sehingga  membinasakan diri sendiri.” Ketahuilah, orang yang merasa tentram pada  dunia dengan keyakinannya, bahwa la telah lari dari dunia, itu tergolong  orang yang sombong.
Dunia, bahkan, seperti rumah yang disiapkan  pemiliknya, dihiasi untuk menerima tamu-tamu yang datang. Kemudian la  memasuki salah satu rumahnya, lalu disodorkan mangkuk emas berisi dupa  yang harum, agar la mencium baunya.Dupa itu dibiarkan untuk orang-orang  yang menemuinya, tetapi tidak untuk dimiliki. Tetapi, pikirannya bodoh,  orang tersebut menyangka dupa dan mangkuk emas itu diberikan kepadanya.  Ketika hatinya mulai berhasrat la menuntut, lalu la gelisah dan rakus.  Kalau saja la cerdas dan mengetahui pasti la cukup mengambil manfaatnya,  dan berterima kasih, lalu mengembalikannya dengan hati yang bersih dan  dada yang lapang.
Begitu pula Sunnatullah di dunia. Dunia adalah  rumah jamuan bagi orang yang lewat. Bahkan rumah para penghuni, agar  orang-orang yang lewat memanfaatkan mengambil bekal perjalanan, seperti  pemanfaatan barang pinjaman. Kemudian dipindahkan kepada orang  berikutnya dengan hati yang lapang tanpa ada ketergantungan hati  terhadap apa yang beralih dari tangannya. Bukannya seperti orang yang  menyesal ketika dunianya berakhir ke tangan orang lain.
 
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar