Selasa, 01 Maret 2011

Beginilah Seharusnya Cinta


Seorang mahasiswi perguruan tinggi negeri diwawancarai menanggapi aksi menolak valentine day’s beberapa hari yang lalu. Mahasiswi itu menanggapi bahwa, “terlalu berlebihan menolak hari valentine, toh di dalam islam mengenal kasih saying juga.” Orang melihat bahwa apa yang dikatakan wanita ini ada benarnya juga. Permasalahannya, jika ada pertanyaan mengenai “Bagaimana menurut anda terhadap isu Saritem ?” ditujukan kepada ulama dan juga PSK yang hidup sehari-hari di saritem pun akan mempunyai jawaban yang berbeda. Lantas apa yang beda dengan Mahasiswi tadi?
            Permasalahannya Mahasiswi yang tadi sepertinya tidak mengetahui betul ilmu kenapa harus menolak valentine, hanya didasarkan kepada persepsi Kasih sayang. Padahal jelas, kalau kita meneliti dan melihat langsung sang mahasiswi, ternyata pakaian mahasiswi itu jauh dari kesopanan. Memakai celana pendek dan dengan santai menanggapi terkait aksi tersebut.
            Barang siapa yang meniru perbuatan suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari kaum itu. (HR. Tirmidzi)
            Itulah salah satu dasar menolak V Day’s yang merupakan turunan dari perayaan budaya barat yang diimportkan ke negeri-negeri kaum muslimin. Seluruh ulama yang mahfum terkait ushul fiqih dan ilmu tafsir hadits dan ayat sepakat mengharamkan V Day’s bagi kaum muslimin. Sementara, para pengusaha yang memanfaatkan moment dan pelaku pacaran pasti bersepakat sah-sah saja melakukan V Day’s. Maka jangan heran bila di Kediri stok Kondom “terjual” habis.
            Budaya Valentine khususnya dan aktivitas pacaran telah meyakinkan sebagian ummat, bahwa perkara yang mereka lakukan sah-sah saja. Bahkan, sampai-sampai ada pernyataan kalau tidak punya pacar itu akan sulit cari jodoh. Hingga akhirnya beberapa aktivis berlabel dakwah menjadi “gugur” khawatir jodohnya tidak ketemu.
Lantas Seperti apakah Cinta?
            Cinta itu merupakan sebuah perasaan yang tidak dapat ditukar dengan Es krim “Magnum” dan tidak dapat ditawar dengan segelas cendol “Elizabeth”. Cinta merupakan Fitroh (sesuatu yang suci) yang itu meliputi rata-rata manusia. Maka, jangan heran bila seorang aktivis dakwah sekalipun menyukai lawan jenisnya. Toh, ini adalah perkara yang mubah serta fitroh di dalam setiap diri manusia.
            Namun, yang namanya cinta tidak harus diekspresikan dengan alat bernama pacaran. Toh, pada dasarnya justru pacaran telah membuat noda bagi kesucian cinta. Justru dengan adanya pacaran, maka prilaku cinta yang suci terkotori kepada ketidakjujuran. Pacaran telah membuat Cinta menjadi korban yang menghasilkan para kaum hawa dan adam menikmati cinta terlalu bebas.
            Permasalahannya, terkadang orang-orang masih khawatir seandainya mereka tidak pacaran maka jodoh tidak akan dapat. Toh, yang namanya pasangan hidup itu kalau bisa saling kenal-mengenal untuk menghasilkan keluarga harmonis. Persepsi inilah yang digunakan aktivis pacaran selama ini.
            Justru islam itu telah melahirkan seperangkat sistem pergaulan yang menempatkan cinta sebagai Fitroh dalam diri manusia. Ia terdiri atas elemen Ta’aruf dan Khitbah yang melahirkan akad ijab-qobul pernikahan. Di mana akan menghasilkan suatu elemen besar bernama Rohmat-Nya.
Loving You, Merit Yuks.
            Ta’aruf adalah proses saling mengenal lawan jenis. Dalam proses ini, kita tidak mau dong membeli kucing dalam kotak kardus, sehingga proses ini merupakan bentuk dari mereka yang berniat “menikah” untuk mengenal calon-calon. Nah di dalam proses ini, laki-laki dan wanita tidak terikat sehingga mereka pada dasarnya boleh mengenal lebih dari satu orang. Biasanya proses ini mengenal istilah data diri, kelengkapan, serta terkadang hingga turunan.
            Sementara proses khitbah ialah proses tahapan dalam “keseriusan” untuk menikah. Bedanya dengan ta’aruf dalam proses Khitbah, seorang wanita yang telah menerima khitbah orang maka “HARAM” menerima khitbah lelaki yang lainnya. Sehingga banyak memberikan persepsi salam di kalangan aktivis bahwa “ngetag” adalah jalau utama menyelamatkan “bidadari-bidadari harapan” agar tidak masuk ke dalam kandang-kandang lainnya. Padahal, seharusnya khitbah itu dasarnya adalah harapan agar kita dapat lebih mengenal dalam kepribadian masing-masing calon.
            Nah, setelah menentukan kepastian hari H maka tentu selama belum terjadinya proses akad ijab-qobul antara mempelai pria dengan wali maka tidak ada toleransi dalam hal berdua-duaan. Sehingga tetap aja, kalau ketemuan secara langsung diantara mereka harus ditemani orang ketiga, supaya tidak timbul setan diantara mereka.
            “Oooo gitu toh ? Lantas yang saya tanya itu adalah bagaimana mendapatkan pasangan?” Begini ceritanya, Alkisah kita melihat seorang akhwat/ikhwan, maka kita boleh menyimpan rasa suka kepada akhwat atau ikhwan tersebut. Namun, kalau pada dasarnya kita tidak sanggup lagi mempertahankannya dalam perasaan maka ulurkan kekuatan untuk berkenalan atau mengkhitbah. Apakah harus dimulai dari kaum adam saja? Ooo, tidak harus. Kaum Hawa pun boleh kok mengharapkan atau bertanya langsung kepada kaum adam. Namun, dalam proses khitbah maka kaum adam-lah yang melakukannya sementara sang hawa hanya menjadi pendorongnya.
            Kalau susah juga, cobalah untuk bertanya kepada ustadz, saudara, orang tua, teman untuk mencarikan jodoh. Memilih-milih calon itu sah-sah saja, tapi ingat dalam perkara agama-lah yang harus diutamakan. Bukan perkara harta, bukan perkara jabatan dan kekuasaan. Ingat, pada akhirnya yang bisa menyelamatkan kita hanyalah Agama. Dan tentu keluarga Sakinah, Mawwadah warrohmah itu bermula dari Keluarga yang sholeh.
to be continue…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar