Selasa, 01 Maret 2011

Keadilan Cinta

“Cinta itu tak adil. Kenapa ada yang harus kita terima sementara yang lain ditolak dan menderita?”

Tanya seorang teman wanita padaku. Saat itu, dia sedang dalam proses ta'aruf dengan seseorang. Lalu datang orang ketiga, hendak menyampaikan perasaan cintanya. Dan dia menjadi bingung, takut dirinya membuat orang ketiga ini tersakiti hatinya. Kujawab saja:

“Cinta itu adil. Manusialah yang tak adil.”

Bagiku, cinta itu cahaya yang Allah turunkan pada hati manusia, agar mereka bisa saling menyayangi, saling berbagi dan saling berempati. Jadi, sangat tak bisa kuterima jika dia bilang cinta itu tidak adil. Manusialah yang membuat cinta itu menyakiti, membuat menderita dan menimbulkan prasangka-prasangka dalam hatinya.

Jika cinta itu cahaya, harusnya cinta menerangi. Bukan malah memberikan kabut dan kemelut dalam perasaan. Cinta harusnya bisa memberikan sebuah kejelasan, sebuah ketajaman hati. Bukannya malah membuat kita ragu dan bimbang. Ketika semua ini tak lagi terjadi pada cinta, maka nyatalah, hitamnya hati telah membuat cahaya cinta meredup. Bahkan bukan tak mungkin, bukanlah cahaya yang muncul, hanya perasaan dan pikiran yang kabur saja.

Karena cinta itu merupakan cahaya Allah, maka tentu saja, cinta pun mewarisi sifat-sifat keilahian. Terutama Rahman dan Rahim. Dari sifat Rahman, kita bisa meneladani, bahwa kita harus menyebarkan rasa cinta pada semua makhluk. Secara sempit hal ini bisa diartikan: cinta boleh kita berikan pada siapa saja. Karenanya, kita tak perlu menolak ketika ada seseorang yang menyatakan cinta pada kita. Berterimakasilah dan hargailah, karena dia sedang meneladani sifat Rahman dari cinta. Sedangkan dari sifat Rahim, kita mengetahui bahwa, ada kasih sayang khusus dari Allah hanya bagi orang-orang yang mengimaniNya. Nah, sifat Rahim dari cinta adalah ketika kita harus memilih seorang saja yang dari orang yang kita cinta untuk dicintai secara khusus, yaitu suami atau istri kita. Bagaimana jika kita masih lajang? Jadi apa tak boleh kita menerima atau menyatakan cinta yang bersifat khusus ini? Jika memang diniatkan untuk menikahi orang yang kita nyatakan atau menyatakan cinta itu pada kita, saya kira boleh-boleh saja.

Kembali ke persoalan keadilan cinta. Jika cinta itu mewarisi sifat Rahman dan Rahim, bagaimana saya bisa menyebut cinta itu tidak adil? Kapan kasih sayang Allah itu bersifat tidak adil?

Lalu, untuk kasus teman saya itu, menurut saya seperti ini:

Jika orang ketiga itu menyatakan cinta yang bersifat Rahman, ya terima saja. Tapi, jika dia menyampaikan cinta yang bersifat Rahim, tunggu dulu. Menurut saya, dia mempunyai kebebasan untuk memilih. Melanjutkan proses ta'arufnya dengan niat menikah dengan orang yang menta'arufinya atau memilih orang ketiga. Pertimbangannya bisa banyak. Tapi, pilihlah dengan cinta, kan cinta itu cahaya. Cinta akan menunjukkan jalan menuju cahaya-Nya. Percayalah. Tapi, tentu saja, kita harus menjernihkan hati kita dari kekotoran hati. Hanya hati yang bersih yang bisa membuat cahaya cinta bersinar. Semakin bersih hati, semakin terang cahaya cinta dan semakin mudah untuk melihat jalan menuju cahayaNya. Jadi bersihkanlah hati sebelum memilih. Banyak berdzikir dan ibadah, lalu berkhalwat bersamaNya. Benamkan jiwa dalam asma-Nya dan penuhi hati dengan cinta padaNya.

Dan tentu saja, ketika memilih, harus ada orang yang jadi korban. Tenang saja. Tidak perlu takut orang yang jadi korban itu tersakiti. Allah pasti akan memberi yang terbaik buatnya. Dan itu bukan kita. Dan mungkin saja pada awalnya, hatinya sakit. Ini sangat wajar dan manusiawi. Tapi, jika dia benar-benar menawarkan cinta Rahim pada kita, tentu dia akan bisa menerima keputusan kita. Dia akan menjadi bahagia, karena orang yang dicintainya bahagia bersama orang yang yang dicintai dengan cinta Rahimnya. Jika dia terus menderita dan marah karena sakit hati? Perlu kita syukuri karena kita menolaknya, karena sangat jelas cinta yang ditawarkan, tak mampu memancarkan cahaya Rahimnya.

Jadi, selamat memilih. Cinta itu adil kok, karenanya harus kita bagi dengan orang yang tepat.

Wallahu'alam bishawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar